BLANTERWISDOM101

Antara Makna dan Budaya Kerja: Catatan tentang Tata Panggung - 5

Rabu, 20 April 2022

 


Oleh: Eko Santosa

4. Gagasan dan Kenyataan

Kerja penciptaan karya seni tidak bisa dilepaskan dari gagasan. Dalam konteks tata panggung sebuah produksi teater, gagasan tidak bisa murni dari satu orang saja. Sifat teater yang kolaboratif menjadikan gagasan merupakan kerja asimilasi yang bermula dari cerita atau lakon sebagai bahan dasarnya. Dalam hal ini, lakon yang ditulis oleh penulis drama merupakan sumber pokok bagi gagasan artistik berikutnya. Semua kreasi artistik, kemudian, muncul dari lakon ini. 

baca juga :
Antara Makna dan Budaya Kerja: Catatan tentang Tata Panggung-1
Antara Makna dan Budaya Kerja: Catatan tentang Tata Panggung-2
Antara Makna dan Budaya Kerja: Catatan tentang Tata Panggung-3
Antara Makna dan Budaya Kerja: Catatan tentang Tata Panggung-4

Di dalam sebuah produksi yang model kreasinya berbeda-beda setelah lakon, gagasan berikutnya bisa dari produser, sutradara aristik, atau sutradara. Semua tergantung dari model dan tata kerja produksi. Gagasan pertama yang berasal dari penulis ini kemudian diinterpretasi oleh produser atau pengarah artistik sebelum akhirnya dialirkan ke sutradara dan penata artistik. Dengan demikian, sutradara dan penata artistik menerima gagasan yang merupakan peleburan antara gagasan penulis lakon dan produser atau pengarah artistik. Khusus untuk penata artistik, model produksi ini menguntungkan karena ia tidak mesti menunggu atau mengikuti instruksi sutradara dalam menggagas konsep artistiknya. Dalam hal ini, penata panggung langsung bisa berkreasi secara mandiri dalam bentuk rancangan tata panggung berdasar interpretasi produser atau pengarah artistik. 

Namun demikian dalam pengalaman kerja teater, terutama teater komunitas dan sekolah, peran produser dan pengarah artistik diambil alih oleh sutradara. Atau, jikapun ada produser dan pengarah artistik tetap saja interpretasi final ada di sutradara. Dalam teater model ini, sutradara menjadi dewa yang menentukan segalanya. Karena posisi yang demikian, maka penata panggung bisa jadi hanya menjadi tukang untuk mewujudkan keinginan sutradara. Pada kondisi semacam ini, penata panggung jelas tidak bebas, sejak mulai dari gagasan. Anehnya, model teater yang demikian banyak sekali. Bahkan, tidak jarang hal ini justru ditetapkan sehingga memang penata panggung kerjanya hanya menata panggung yang dibuat sesuai kehendak sutradara. Sementara di dalam teater juga ada atau mengenal sistem produksi yang mana pada bidang artistik memberikan kemungkinan luas bagi penata panggung untuk menginterpretasi lakon, memiliki gagasan, dan menghadirkan makna melalui karya tata panggungnya. Tetapi bagaimanapun juga, teater sutradara, memang telah menjadi kenyataan yang membudaya. Dengan demikian, seorang penata panggung secara nyata perlu berjuang lebih keras agar gagasannya dalam membuat konsep tata panggung dapat lebih mandiri.

Penataan organisasi produksi pada kelompok teater, seperti yang umum terjadi, berbeda jauh dengan organisasi artistik teater pemberdayaan. Dalam tetaer model ini gagasan tidak mesti dimulai dari lakon dan kemudian berterusan sesuai struktur produksi. Sejak awal, gagasan dapat dibangun secara bersama di antara semua pekerja artistik dan tim produksi tinggal mengikuti secara manajemen. Dengan konsep penciptaan teater semacam ini, kerja kolektif teater sejak menyusun cerita dilakukan. Oleh karena itu diperlukan individu yang mampu memproduksi gagasan sampai pada akhirnya pertunjukan teater itu tersaji di hadapan penonton.

Melalui model teater yang mengedepankan kolaborasi semacam ini, seorang penata panggung akan tertantang untuk memproduksi gagasan. Karena proses dimulai sejak cerita disusun, maka konsep atau gambaran tata panggung pun dapat dikerjakan sejak awal dan tidak hanya sekedar interpretasi atas lakon. Bahkan bisa jadi, cerita yang disusun bermula dari gagasan atas tata panggung. Dalam teater kolaboratif semacam ini, segala sekat yang membatasi kerja dan biasanya di teater dapat diterabas sehingga semua orang berada dalam posisi yang sama. 

Model-model teater yang membebaskan diri dari belenggu sutradara memang tidak banyak ditemui. Bahkan umumnya kelompok teater dibentuk dan dipimpin oleh seorang sutradara. Meski begitu, seorang penata panggung, semestinya tetap dapat memproduksi gagasan atas tata panggung dan bukan sekedar mewujudkan keinginan sutradara. Untuk menuju pada kondisi ini, seorang penata panggung mesti banyak belajar dan memiliki strategi tertentu agar gagasannya diterima oleh sutradara sehingga tata panggung yang dihasilkan dapat memberikan makna dalam pertunjukan. Memang bukan perkara yang mudah untuk mengubah model kerja yang sudah umum, tetapi tidak juga menutup kemungkinan kondisi ini akan tercapai ketika gagasan seorang penata panggung itu logis dan dapat dinyatakan dan benar-benar mendukung pemaknaan atas lakon yang disajikan.

===== bersambung ====


Share This :

0 komentar