BLANTERWISDOM101

Perkara Metode Latihan Peran-3

Kamis, 02 Juni 2022


Oleh: Eko Santosa

Perkara metode latihan peran dalam teater, jika didiskusikan, akan terus berputar-putar pada poros diri sang pelatih dalam memahami seni peran itu sendiri. Lalu apakah dengan demikian diskusi perkara metode latihan peran tidak ada gunanya? Tentu saja banyak berguna, selama dilakukan dengan terbuka, jujur, dan jauh dari soal eksistensi. Sejatinya beragam metode dapat diterapkan, namun yang patut dipahami bersama adalah tidak semua orang dapat menerapkan satu metode saja dalam berlatih peran. Karena itulah kompetisi eksistensi antara pelatih satu dengan pelatih lain dalam metode latihan peran ini menjadi tidak penting. Sharing metode menjadi tindakan paling tepat dan bijaksana bagi pelatih dan peserta pelatihan. Pengalaman kompetisi eksistensi sedikit banyak ditunjukkan oleh Adler dan Strasberg mengenai imajinasi dan memori dalam latihan pemeranan. Namun keduanya dengan penuh kesadaran juga mengamini pendalaman metode masing-masing, dengan pemahaman yang sama bahwa satu metode belum tentu tepat bagi orang tertentu. Pada kenyataannya memang kedua tokoh ini berhasil melahirkan aktor-aktor handal dan menjadi panutan dalam dunia akting. 

baca juga : Perkara Metode Latihan Peran - 1
baca juga : Perkara Metode Latihan Peran - 2

Sharing metode antarpelatih perlu mendapat perhatian lebih ketika pemahaman dasar atas akting dalam teater antara satu orang dengan orang lain berbeda. Di dalam pertunjukan teater yang mengenal banyak gaya pementasan, gaya akting yang berbeda-beda menjadi niscaya. Oleh karena itu, pemahaman yang pada nantinya mengarah pada metode pelatihan akting menjadi krusial. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa gaya akting teater presentasional atau teater tradisional Timur itu sangat berbeda dengan gaya akting teater realis. Bahkan jika dicermati secara mendalam antara teater presentasional di luar dan dalam tembok kerajaan pun bisa jadi sangat berbeda. Mengacu pada gaya pementasan yang mempengaruhi gaya akting inilah perbedaan metode latihan peran tersebut dapat diselisik.

Metode pelatihan peran yang mengacu pada gaya ini sedikitnya menimbulkan tiga konsep yang berbeda. Pertama adalah aktor itu dilatih dan dibentuk, kedua aktor itu melatih dirinya sendiri berdasar pemahaman mengenai watak peran (manusia) yang diberikan oleh pelatih, dan yang ketiga adalah aktor yang dilatih dengan membiasakan diri terjun bermain dalam pementasan-pementasan dengan kurun waktu lama. Ketiga konsep pelatihan ini telah melahirkan aktor-aktor hebat sesuai dengan gaya produksi pementasannya. Umum dijumpai sampai hari ini adalah konsep atau model yang pertama dan ketiga, sementara model yang kedua biasanya hanya dibuncahkan di ruang-ruang akademis namun kurang berhasil dilakukan dalam latihan sesungguhnya. Mengapa demikian? Problem umum yang terjadi adalah pelatih dan calon aktor sama-sama tidak sabar untuk segera melihat hasil latihan yang telah dilakukan. Untuk itulah mereka segera membuat produksi pementasan sementara proses latihan belum sepenuhnya tuntas. Ketidaksabaran inilah yang pada akhirnya akan menggelincirkan proses menuju ke yang pertama dan ketiga. 

Pada model kedua di mana aktor melatih dirinya sendiri bukan berarti ia berlatih tanpa seorang pelatih. Aktor memiliki kesadaran untuk senantiasa melatih dirinya berdasar masukan atau pengetahuan yang diberikan pelatih di luar agenda latihan bersama. Agenda latihan bersama dalam teater sangat penting untuk memahamkan aksi-reaksi yang menjadi landasar dasar seni pemeranan. Pemahaman ini mesti diserap oleh calon aktor dan diinternalisasi ke dalam dirinya sendiri dan bukan mesti beraksi dan bereaksi atas instruksi pelatih. Model kedua dalam latihan pemeranan ini bertumpu pada mindset mengenai seni peran serta tanggungjawab aktor dalam menjalani seni tersebut. Pelatih dalam hal ini tampil sebagai pembimbing, pengamat, dan konsultan. Ia tidak memberikan instruksi kepada pemain mesti begini atau begitu dalam mewujudkan watak tokoh melainkan memberi gambaran besar atau pemahaman mengenai tokoh yang diperankan. Selanjutnya, bagaimana wujud tokoh tersebut dalam berperilaku adalah urusan aktor. Ketika latihan, aktor menunjukkan hasil eksplorasinya atas tokoh dan pelatih memberikan evaluasi dalam konteks kewajaran perilaku tokoh melalui adegan-adegan yang dimainkan. Bisa jadi, dalam adegan tertentu, aktor dirasa tepat menampilkan sang tokoh namun di adegan lain dianggap kurang karena faktor aksi dan reaksi dengan tokoh lain berkait situasi dan kondisi peristiwa. Evaluasi berupa masukan dan atau pertimbangan pelatih ini selanjutnya menjadi pekerjaan rumah aktor untuk memahaminya melalui pikiran dan mewujudkannya melalui aksi laku tokoh yang diperankan.

Hal yang menjadi urgen untuk dipertimbangkan dalam perbincangan mengenai proses latihan peran adalah apakah gaya pementasan teater yang diproduksi sesuai dengan model latihan pemeranannya. Artinya, mungkin saja seorang pelatih mengedepankan proses membentuk dan membiasakan aktor pada gaya pementasan teater di mana semestinya pelatih tersebut hanya menjadi pembimbing atau pembuka pintu pemahaman dan pemikiran. Dengan demikian, model dan metode latihan peran tidak bertemu dengan gaya pementasan. Padahal semestinya antara proses dan produk pementasan mesti bersesuaian. Oleh sebab itu pulalah, metode latihan peran tidak bisa sepenuhnya ditetapkan untuk semua peserta latihan dan semua jenis produksi pementasan. Pelatih mesti jeli memperhatikan hal-hal semacam ini sehingga penggalian dan pengembangan metode latihan bisa berterusan. Akhirnya, metode latihan peran menemukan maknanya pada sajian pemeranan yang sesuai dengan gaya pementasan yang diproduksi. (**)

Share This :

0 komentar