BLANTERWISDOM101

Ekspresi Artistik Dalam Teater-3

Kamis, 25 November 2021


Hal yang mesti dilakukan adalah memahami dengan penuh kesadaran bahwa secara mendasar teater dan drama berbeda. Pementasan teater tidak harus menampilkan drama. Oleh karena itu, naskah pertunjukan teater tidak harus berwujud naskah drama. Bahkan secara lebih terbuka, teater pun tidak perlu memusingkan soal dramatika dalam pementasannya. Artinya sebarang cerita bisa ditampilkan dalam pertunjukan teater, tidak harus mengikuti kaidah dramatik. Pada kondisi ini, yang menjadi tantangan adalah kemenarikan dan isi dari pertunjukan. Artinya, bagaimana menampilkan teater tanpa terikat oleh sifat drama yang naratif namun menarik sekaligus memiliki moral kuat untuk disampaikan.

Pemahaman semacam ini mungkin akan banyak mendapat sanggahan karena ketakikhlasan penerimaan. Namun perlu dicatat bahwa usaha pementasan teater di luar hukum drama sudah berlangsung lama. Sebagai misal, usaha Brecht untuk menciptakan keterasingan dalam teater sehingga mengajukan struktur lakon non-dramatik yang pengadegannya berbentuk montase. Bagaimana efek gangguan dalam pertunjukan itu sengaja diciptakan oleh Brecht agar penonton tidak terhanyut oleh cerita yang dibawakan para aktor, merupakan gagasan aneh namun kuat dan bermakna. Belum lagi ketika sajian teater berupa mime. Juga, jika jeli dalam mengamati sejarah lahirnya pertunjukan teater tradisional, mesti akan ditemui bahwa struktur dramatik bukanlah hal pokok. Dalam sejarah lahirnya ketoprak, misalnya, cerita sederhana petani yang bergembira karena hasil panennya tentu saja tidak tertulis seturut struktur dramatik. Pun demikian dalam hal pemeranan di mana gaya bermain perannya tidak perlu ribet merujuk pada gaya realis, presentasional atau pasca realis. Dalam sajiannya, dialog bisa berdiri sendiri atau dikombinasi dengan gerakan dan nyanyian. Artinya, pilihan ekspresi artistiknya justru terbuka. Keterbukaan pilihan ekspresi artistik ini semestinya dipertahankan.

baca juga : Ekspresi Artistik Dalam Teater-2

Di dalam sejarah perkembangan teater daerah atau tradisional Indonesia, banya ditemui gaya sajian teater yang tidak mengandalkan narasi dramatik dalam pementasannya. Di Jawa orang mengenal wayang wong yang memiliki ekspresi artistik pokok berupa tarian. Di Padang terdapat randai yang juga lebih mengedepankan gerak. Bahkan, dalam pertunjukan yang dapat dikatakan berbasis drama seperti sandiwara bangsawan pun, ada  terdapat intermeso sebagai selingan yang dapat menyajikan rupa-rupa bentuk hiburan. Hal yang sama juga terjadi di wayang kulit, ketoprak, ludruk, di mana pada adegan tertentu menampilkan pelawak yang bebas membicarakan apa saja tanpa risau dengan konteks atau logika lakon. Baru pada saat menjelang adegan lawak berakhir, konteks lakon kembali dikaitkan. Namun demikian, penampilan tokoh lawak ini selalu berada dalam posisi tak terikat dengan dramatika dialog yang ada.

Menilik sejarah teater yang ada dan berkembang di Indonesia di mana narasi drama tidak mesti selalu menjadi ekspresi pokok, maka pembakuan seolah-olah yang meletakkan teater pada posisi dramatik sekaligus menjadi pilihan banyak pelaku teater melahirkan berbagai pertanyaan. Mengapa bisa seperti itu? Mengapa teater menjadi kehilangan gairah pertunjukannya yang beraneka warna? Mengapa seolah teater hanya diwakili oleh narasi verbal? Pertanyaan-pertanyaan ini semestinya membuat pelaku teater berhenti sejenak dan berpikir ulang mengenai pilihan ekspresi artistik dalam karyanya. Pilihan ekspresi yang semestinya mampu menghidupkan panggung teater dan mendatangkan khalayak penonton untuk berbagi kisah dengan cara-cara yang ajaib. Persis seperti fisik panggung yang memiliki dimensi sehingga setiap cerita bisa lesap di dalamnya sekaligus muncul dengan ekspresi rupa-rupa. (**)


Share This :

0 komentar