Oleh : Eko Santosa
Tentu saja sebuah proses produksi pementasan teater tidak selalu dimulai dari naskah lakon. Teater baik tradisional maupun modern sampai saat ini masih banyak yang pentas secara improvisasional. Jika pun ada naskah, wujudnya adalah treatment di mana pesan setiap adegan dituliskan untuk disampaikan oleh tokoh-tokoh yang terlibat dalam adegan tersebut. Namun demikian hal tersebut tidak otomatis mampu mengeluarkan teater dari jebakan narasi. Artinya, teater improvisasi juga meyampaikan dialog verbal, hanya saja sumber dialognya tidak tertulis. Oleh karena itu, pada sisi ini, ekspresi teater tetap mengandalkan pada kata-kata, orang saling berbicara atau sering juga disebut sebagai drama.
Apakah salah mementaskan drama? Tentu saja tidak. Namun perlu dipertimbangkan sangat mendalam bahwa mengekspresikan drama bukan perkara mudah. Teater ditinggalkan pentonon justru karena drama tidak disampaikan sebagaimana mestinya. Drama sebagian besar berubah menjadi dialog tokoh yang hanya dihafalkan lalu diujarkan. Drama hanya berisi kalimat-kalimat yang seringkali karena tuntutan ketersampaian pesan menjadi menggurui. Drama menjadi tidak ada ketika para pemain tidak memahami bagaimana cara menyampaikannya. Sementara itu, puncak permainan aktor, sampai saat ini masih diakui, justru ada pada drama yang seolah-olah menyampaikan kenyataan. Seolah-olah sang aktor tidak sedang bermain peran. Seolah-olah panggung adalah kehidupan. Dengan demikian, penonton tertarik untuk hanyut dalam dunia seolah-olah yang ia anggap sebagai nyata.
Keseolahnyataan ini dimulai dari naskah lakon yang memang ditulis berdasarkan kenyataan. Rangkaian cerita yang menarik, masuk akal, dan memiliki makna. Dalam setiap dialog, penulis tidak sembarangan menyusun kalimat, kata, ujaran, bahkan interjeksi. Semua ditulis dengan penuh pemahaman akan apa yang terjadi, bagaimana itu terjadi secara kultural dan alami. Penulis tidak sekedar menuliskan kalimat-kalimat yang ia dengar di angan-angan atau sering ia dengar dari drama-drama tak bemutu baik itu drama panggung maupun televisi. Penulis tidak sekedar menyusun kalimat tanya-jawab dalam dialog tokoh, juga tidak sekedar mengutip kata-kata mutiara dahsyat untuk disisipkan dalam dialog agar terlihat gagah dan filosofis. Penulis drama yang baik akan menuliskan logika dan psikologi kalimat tokoh sesuai dengan watak dan peristiwa yang dihadapi. Oleh karena itu, ia tidak bisa sembarangan, asal bisa dan terlihat lumrah dalam setiap kalimat yang dituliskan. Untuk mencapai hasil baik, seorang penulis drama realis tidak diperkenankan membayangkan cerita yang ia tulis itu terjadi di atas panggung, melainkan terjadi dalam kehidupan sesungguhnya.
Naskah drama yang baik, dengan demikian menjadi sumber atau acuan ekspresi aktor dengan harapan hasil yang baik juga. Jika naskah drama yang hendak dipentaskan itu belum cukup memenuhi kaidah drama dengan segala kualitasnya, lebih baik pentas ditunda atau dibatalkan sama sekali. Karena, hal ini hanya akan menghasilkan pentas pamer kalimat di mana kualitas ceritanya jauh dari mutu. Mengingat begitu peliknya persoalan dalam drama, maka tidak tidak banyak orang yang bisa menulis naskah drama. Boleh saja seseorang mengaku bisa menulis naskah dengan struktur drama, tetapi belum tentu ia bisa menyajikan drama yang benar-benar tampak hidup. Jadi, penulis naskah drama itu adalah profesi unggul yang mesti dihargai, diangkat tinggi, dan tidak sekedar orang yang bisa menulis seperti itu.
Dari sisi penulis naskah drama ini, dapat dilihat bahwa tidak banyak naskah drama berkualitas baik yang tersedia. Mungkin banyak naskah-naskah drama hebat yang semua dialognya bermakna, namun itu berasal dari mancanegara. Jika sudah demikian, maka kualitasnya sangat bergantung pada penerjemahannya. Lain dari itu, kultur, filosofi, psikologi, dan logika dialog mesti mengikuti dari mana asal atau latar penulisan naskah lakon tersebut. Oleh karena itu, tidak bisa sembarangan pula mementaskan naskah terjemahan, karena mesti menerjemahkan budayanya juga. Jika pun akan diadaptasi, persesuaian yang dilakukan juga tidak semudah membalik telapak tangan. Atas kondisi ini, maka banyak orang tergoda untuk menuliskan naskah dramanya sendiri. Namun sayang, sebagian besar tidak menggambarkan kualitas, bahkan dalam segi kultur, filosofi, psikologi, dan logika di mana penulis tersebut hidup dan menuliskan cerita berdasar hidup yang dilakoninya. Jika sudah demikian, apa yang mesti dilakukan?
===== bersambung ====
0 komentar