BLANTERWISDOM101

Perbincangan Seputar Teater - 6

Kamis, 27 Mei 2021


Oleh: Eko Santosa

6. Manajemen produksi dan tanggapan

Manajemen dalam teater secara umum dapat dibedakan menjadi manajemen lembaga dan manajemen produksi. Dalam manajemen lembaga yang diatur adalah sumber daya manusia, pendanaan, dan program tahunan yang akan dikerjakan. Sementara manajemen produksi merupakan tata kelola khusus ketika sebuah kelompok teater hendak berproduksi – mementaskan karya. Di dalam tata kelola pementasan karya, kelompok teater modern umumnya menggunakan pendekatan manajemen produksi sedangkan kelompok teater tradisional menggunakan pendekatan tanggapan. Terdapat perbedaan mendasar antara produksi dan tanggapan utamanya dalam ketersediaan dana pementasan.
Dalam manajemen tanggapan, seorang atau sebuah lembaga penanggap membiayai seluruh pendanaan pementasan. Kelompok teater tinggal datang dan tampil pada saat yang telah ditentukan. Oleh karena dana yang dibutuhkan sudah tersedia, maka dapat dikatakan separoh dari tugas keproduksian sudah selesai. Belum lagi, jika penanggap telah menyiapkan tempat pementasan, lighting, sound, dan beberapa perlengkapan yang diperlukan. Kelompok yang ditanggap seolah tinggal menata artistik sesuai keperluannya dan langsung menggelar pementasan.

baca juga : Perbincangan Seputar Teater - 5

Perjalanan pementasan teater tradisional dengan budaya tanggapan sampai dewasa ini masih banyak ditemui. Untuk menegakkan sistem tanggapan ini, sebuah kelompok mesti memiliki produk berkualitas yang mampu memikat penonton. Dengan modal ini, kelompok teater tradisional dapat menjajakan karyanya kepada para penanggap. Seiring perjalanan waktu, bersamaan dengan diterimanya karya tersebut di tengah khalayak, maka tanggapan pun datang silih berganti. Ketika hal ini terjadi, maka kelompok tersebut sudah memahami betul apa yang mesti dilakukan mulai dari datangnya order, pementasan, hingga pasca pentasnya.  Budaya manajemen tanggapan ini kemudian menjadi andalan.

Namun demikian, budaya manajamen tanggapan tidak bisa disamakan dengan manajemen produksi. Pada kelompok teater modern, menggelar sebuah pementasan merupakan kerja besar. Hal ini dikarenakan mereka mesti membuat produk baru yang tentu saja belum dikenal luas oleh khalayak. Untuk itu diperlukan serangkaian proses panjang dan tidak ringan. Tidak hanya soal artistik pementasan yang perlu digarap dalam proses tersebut, namun juga pertimbangan bentuk dan gaya produk (apa yang mau dipentaskan) serta faktor pembiayaan yang butuh kecermatan.  Kecermatan perencanaan adalah keniscayaan. Tanpa perencanaan yang baik, maka produk yang dihasilkan pun kurang maksimal. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa kelompok teater mampu mementaskan karya dengan pendekatan manajemen produksi namun gagal menemukan titik kualitas di mana produk yang dihasilkan mampu menarik minat khalayak dan tidak menimbulkan kerugian secara finansial. Bahkan terkadang kualitas karya juga sedikit banyak dikorbankan demi mengejar tenggat waktu pementasan.

Pengalaman buruk manajemen produksi semacam itu mestinya dapat dijadikan pembelajaran bersama untu dievaluasi dan dicari jalan keluar atas kendala-kendala yang dihadapi. Akan tetapi, dalam perbincangan di komunitas kadang-kadang kegagalan manajemen produksi semacam ini justru menjadi cerita kebanggaan karena keberanian pekarya dalam berproduksi sehingga perjuangannya patut untuk diapresiasi. Dari sisi keberanian menempuh risiko memang patut dihargai tinggi, namun jika pengalaman satu tidak menjadikan pengalaman berikutnya lebih baik, maka keberanian menempuh risiko itu menjadi kekonyolan. Anehnya, kekonyolan ini seringkali dirayakan, bahkan dianggap sebagai bentuk perjuangan tanpa pamrih atas kesenian.

Problematika kegagalan yang membudaya dan menjadi ikon perjuangan kesenian dalam manajemen produksi rupanya juga terjadi dalam manajemen tanggapan. Banyak pelaku teater, utamanya aktor, yang tidak pernah memiliki patokan bayaran sekaligus hanya menunggu order tanggapan. Di dalam perbincangan, hal semacam ini juga menjadi ikon tersendiri atas beratnya perjuangan seorang seniman. Hal ini terkadang masih ditambah dengan budaya tertutup pimpinan grup yang mana tidak pernah membuka seluruh biaya diterima dan biaya dikeluarkan. Anehnya pula, para anggota tidak protes namun tidak sepenuhya menerima. Mereka hanya kasak-kusuk di belakang namun sama sekali tak miliki daya dan posisi tawar.

Problem manajemen baik tanggapan maupun produksi jarang sekali menjadi topik utama dalam perbincangan antarkomunitas, kecuali dalam dialog-dialog formal yang diadakan secara khusus dengan tema manajemen seni. Hal ini menandakan bahwa manajemen dianggap sebagai hal lain di luar kesenimanan. Padahal, karya seni seorang seniman akan dapat dipasarkan serta mampu bertahan lama dengan manajemen yang baik. Kualitas fungsi manajemen ini akan menjadi satu pemahaman atau mindset jika biasa hadir dalam perbincangan-perbincangan, seolah sebagai aktivitas seni harian sebagaimana yang biasa dilakoni oleh seniman.
==== bersambung ==== 

Share This :

0 komentar