BLANTERWISDOM101

Perbincangan Seputar Teater - 4

Kamis, 13 Mei 2021


Oleh: Eko Santosa

4. Individu dan kelompok
Seseorang sejak kecil bisa dipastikan dididik untuk memiliki cita-cita atau karya yang akan dibuat ketika sudah dewasa. Di dalam perbincangan komunitas teater, cita-cita ini tidak saja terhubung langsung dengan individu tetapi juga kelompok. Artinya, seseorang yang terlibat dan suntuk dalam teater secara berkelompok bisa dipastikan memiliki visi bagi kelompoknya. Bahkan, sering sekali, visi kelompok ini mengalahkan cita-cita personal. Hal ini terjadi juga bukan karena kesadaran individu dalam memperjuangkan kelompoknya tetapi juga karena narasi yang dikembangkan dalam kelompok memang seperti itu adanya.

Tidak jarang kita jumpai antara kelompok teater satu dengan yang lain tidak bisa sejalan atau tak akur dalam banyak hal sehingga anggota masing-masing kelompok saling mengembangkan sentimen. Situasi atau kultur semacam ini tidak diketahui dari mana asalnya, namun begitulah yang umum terjadi. Masing-masing kelompok seolah membawa dan mempertahankan eksistensinya sebagai kelompok terbaik. Kondisi ini melemahkan kebijaksanaan untuk apresiasi, karena hanya tampilan kelompoknya yang dianggap paling baik. Setiap sajian kelompok lain, baik dalam agenda produksi mandiri maupun dalam ajang lomba dan festival dapat dipastikan mendapatkan kritikan pedas. Seseorang dari kelompok satu datang menyaksikan pertunjukan bukan untuk meresapi sajian lakon melainkan untuk mencari-cari kesalahan atau kekurangan dari tampilan kelompok lain. Budaya menonton pertunjukan berubah menjadi budaya menghakimi pertunjukan. Sebaliknya, bagi anggota kelompok yang hadir menyaksikan pertunjukan dari kelompoknya sendiri akan serta-merta memberikan puja-puji subjektif. Dalam kondisi semacam ini, pertunjukan teater jadi berlangsung secara tidak sehat. 

baca juga : Perbincangan Seputar Teater - 3

Perjuangan kelompok dalam banyak komunitas teater yang mengalahkan visi pribadi semacam ini bisa jadi dibentuk sejak awal. Pada mulanya berjalan dengan baik karena memang teater membutuhkan kerja kelompok dan kekompakkan yang konsisten. Namun, seringkali penanaman pentingnya kerja kelompok ini berubah jadi indoktrinasi chauvinistik. Jika sudah demikian, maka teater bukan lagi kelompok kolaboratif melainkan instrumen penundukan. Setiap anggota harus tunduk pada kelompok atau pada pimpinannya dengan hanya memiliki sedikit peluang untuk mengemukankan gagasan. Dilihat dari jauh, kelompok ini sebenarnya telah menjadi peternakan robot.

Sementara itu, dalam kacamata yang lebih profesional, teater merupakan wadah ekspresi bersama yang di dalamnya berisi banyak gagasan, talenta, skill yang dikelola demi pencapaian komunal. Artinya, meskipun tujuan dari sebuah produksi atau karya adalah tujuan kelompok, namun kemerdekaan pribadi dalam mengembangkan kemampuan sesuai bidangnya mendapatkan tempat yang layak. Dalam hal ini, kelompok teater merupakan kumpulan individu yang berkompeten di bidang masing-masing. Oleh karenanya masing-masing individu dalam kelompok saling mengapresiasi skill yang dimiliki. Sikap saling menghargai antarindividu dalam kelompok yang dimiliki pada akhirnya dapat dikembangkan dalam bentuk penghargaan antarkelompok. Artinya, sentimen antara kelompok satu dan kelompok lain tidak perlu ada. Karena selain tidak berguna bagi pengembangan dan pendewasaan teater juga hal itu merupakan bentuk penanaman budaya katak dalam tempurung yang akan melahirkan manusia berkacamata kuda.

Hirarki dalam kelompok teater, bahkan yang profesional, memang tidak bisa dihindari. Namun menempatkan orang sebagai dewa yang (seolah)  tahu dan menguasai segalanya adalah tidak bijaksana. Hirarki dalam teater profesional diformat dalam tuntutan kerja, keahlian, wewenang serta tanggung jawab yang dimiliki. Sutradara memiliki wewenang untuk melatih aktor namun ia juga bertanggung jawab atas kualitas penampilan ensembel aktor atas arahannya tersebut. Aktor memiliki kebebasan untuk berekspresi sesuai interpretasinya namun ia harus tunduk pada rambu-rambu yang diberikan sutradara. Produser berhak menentukan konsep produksi, namun dalam pelaksanaannya ia harus percaya dan menyerahkan pekerjaan pada bidang produksi dan artistik. Dengan tata kelola profesional yang menghargai setiap keahlian, maka tidak akan ada dewa di antara mereka meskipun sistem hirarki kerja terbentuk. Jika setiap kelompok bisa mengembangkan budaya saling menghargai, seperti yang berlangsung pada produksi teater profesioal, niscaya pengembangan kemampuan individu dapat berjalan dengan baik, dan pada akhirnya akan mengangkat eksistensi kelompok.
==== bersambung ===  

Share This :

0 komentar