Oleh: Edwin Wilson
6. Peran Terpisah antara Aktor dan Penonton
Sangatlah penting untuk memahami perbedaan antara teater yang diobervasi (observed theatre) dan teater yang dilibati (participatory theatre). Di dalam teater yang diobservasi, sebagai bagian dari penonton, kita berpartisipasi secara empatetik dengan apa yang terjadi di atas panggung. Empati adalah pengalaman masuk ke dalam perasaan atau jiwa orang lain – dalam kasus ini adalah karakter tokoh yang dimainkan - secara mental dan emosional. Kadang-kadang kita tidak berada dalam frekuensi yang sama dengan karakter tokoh di panggung namun kita akan memberikan reaksi penuh semangat atas tokoh-tokoh itu. Dalam situasi yang lain, kita bisa benar-benar berpartisipasi secara empatetik. Sebagai penonton kita bisa berbagi air mata, tawa, penilaian selintas, kebekuan, atau merinding karena ketakutan. Namun kita berpartisipasi melalui imajinasi kita yang berjarak dari aksi para pemain.
Ada juga waktu di mana observer dan penonton berpartisipasi dalam peristiwa teater. Dalam ritual dan upacara di bagian Afrika atau di antara suku-suku asli Amerika, orang-orang yang hadir, terpengaruh sebagai partisipan, bergabung dalam nyanyian dan gerak tarian secara instan. Pada sebagian teater kontemporer penonton menjadi satu aspek yang penting untuk ikut terlibat. Sebagai contoh, salah satu tujuan pokok Theatre of the Opressed yang dikreasi oleh Augusto Boal adalah menghilangkan jarak antara penonton dan aktor. Dalam filosofi Boal, setiap penonton dapat dan bisa menjadi aktor, dan untuk itu ia mengembangkan strategi teater sedemikian rupa agar penonton terlibat.
6.a. Bagaimana Penonton Semestinya Dilibatkan?
Usaha melibatkan penonton secara langsung muncul dari kehendak untuk membuat teater lebih intens dan serta-merta serta menjadi karya yang lebih inovatif dan menarik. Ini meningatkan, bagaimanapun, sebuah pengecualian untuk jenis teater yang sampai saat ini masih banyak kita jumpai. Teater yang sebagian besar dari kita alami yang memerlukan derajat jarak, yang dengan cara sama diperlukan oleh karya seni untuk menghadirkan perspektif. Bayangkan, mencoba menangkap efek sebuah lukisan pemandangan yang besar dengan jarak hanya beberapa inci dari kanvas; seseorang mungkin hanya akan melihat goresan kuas dari satu pohon atau bagian kecil dari langit biru. Untuk menanggapi dan mengapresiasi atas karya seni, diperlukan jarak. Pemisahan jarak ini, yang dapat disebut sebagai jarak estetik, sangat diperlukan dalam teater dan seni yang lain.
Melalui cara yang sama di mana kita mesti berdiri dengan jarak tertentu dari sebuah lukisan untuk menangkap kesan, demikian pula, sebagai penonton teater, kita mesti terpisah jarak dari pertunjukan agar supaya dapat melihat dan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi di atas panggung dan meresapi pengalamannya. Jika seorang penonton dilibatkan dalam proses menuju atas panggung dan mengambil bagian melalui aksi, seperti yang sering terjadi dalam produksi Boal, maka penonton tersebut akan berubah peran menjadi aktor dan bukan penonton. Dengan demikian pemisahan jarak antara aktor dan penonton tetaplah ada.
6.b. Partisipasi Penonton Melalui Aksi Langsung
Hari ini jangkauan pendidikan atau aktivitas terapetik membutuhkan teknik teatrikal. Tujuannya bukanlah pertunjukan yang ditonton oleh penonton atau semacamnya. Siapapun yang terlibat dalam aktivitas bukanlah penampil (aktor) seperti biasanya, dan tidak ada usaha untuk mengikuti naskah tertulis. Akan tetapi, penekanannya untuk pendidikan, pengembangan diri, atau terapi – bidang yang mana teknik teater mulai terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Di sekolah, sebagai contoh, dramatik kreatif, permainan teater (theatre games), dan improvisasi kelompok telah membuktikan sebagai upaya tak ternilai untuk penemuan diri dan pengembangan perilaku kelompok yang sehat. Dengan mempresentasikan situasi hipotetis atau membuka kekang imajinasi, anak-anak dapat membangun kepercayaan diri, menemukan potensi kreatif mereka, dan mengatasi kecemasan mereka.
Dalam situasi tertentu, dramatik kreatif dapat mengajarkan sesuatu yang biasanya sulit dilakukan dengan cara pengajaran konvensional. Penulisan lakon juga, seringkali memberikan bukti sebagai alat pendidikan yang tak ternilai harganya. Pelajar yang menuliskan adegan, apakah itu autobiografi atau fiksi, menemukan pengalaman tidak hanya sekedar menggenapi tetapi mencerahkan. Sebagai tambahan dalam dramatik kreatif, sebuah aktivitas berjangkauan luas – sosiodrama, psycodrama, dan terapi drama – memerlukan teknik teatrikal. Bagi orang dewasa ataupun anak-anak, aktivitas semacam ini menjadi ujung tombak metode pendidikan dan terapi. Di dalam sosiodrama, anggota kelompok partisipasi – seperti orang tua dan anak, siswa dan guru atau pejabat dan masyarakat biasa – mengeksplorasi perilaku dan prasangka mereka. Salah satu pendekatan yang sukses adalah “pembalikan peran”. Sekelompok anak muda, sebagai misal, diperbolehkan mengambil peran sebagai orang tua dan kelompok orang dewasa mengambil bagian sebagai anak-anak: atau kelompok anak jalanan mengambil peran sebagai polisi, dan polisi mengambil peran sebagai anak jalanan. Dalam bentuk permainan peran semacam ini, mereka menjadi akan menyadari adanya perasaan secara mendalam hingga sampai pada pemahaman yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya.
Psycodrama menggunakan beberapa teknik yang sama dengan sosiodrama tetapi lebih pribadi dan interpersonal: kenyataannya, hal ini bisa sangat intens sehingga mesti diselenggarakan di bawah supervisi dari terapis terlatih. Di dalam psycodrama, ketakutan, kecemasan, dan frustrasi individu dieksplorasi. Sebagai contoh, seseorang mungkin ditempatkan kembali pada adegan traumatik di masa kecil. Di dalam drama partisipatori, teater memiliki tujuan berbeda: edukasi, terapi, pengembangan kelompok atau hal-hal lain yang sejenis. Tujuannya bukan pementasan publik, dan ada sedikit penekanan pada persiapan yang lebih hati-hati, presentasi yang disajikan dengan baik di hadapan penonton. Di dalam drama observasi, pada sisi lain, tujuannya adalah pementasan secara profesional untuk penonton, dan hal ini membutuhkan jarak pemisah atau jarak estetik antara aktor dan penonton. (**)
(diterjemah bebas oleh Eko Santosa dari buku “The Theatre Experience” Edisi 13, karya Edwin Wilson, terbitan McGraw-Hill Education tahun 2015)
0 komentar