BLANTERWISDOM101

Pekerjaan dalam Teater “Seni” dan “Peniruan”

Minggu, 05 Mei 2024



Oleh: Robert Cohen dan Donovan Sherman

(diterjemah bebas oleh Eko Santosa dari Bab 1 buku, “Theatre Brief Eleventh Edition”, karya Robert Cohen dan Donovan Sherman, diterbitkan McGraw-Hill Education, New York, tahun 2017)

Seni

Kata “seni” masuk ke dalam pikiran membawa makna sebagai sebuah gagasan abstrak: kreativitas, imajinasi, elegan, kekuatan, harmoni, dan keindahan. Kita menikmati sebuah karya seni agar dapat menangkap satu semangat manusia dan menyentuh sesuatu yang sangat lekat sekaligus samar, yaitu makna kehidupan. Tentu saja kelompok teater yang hebat tak pernah gagal membawa gagasan-gagasan semacam ini. Di dalam teater yang hebat kita menyaksikan tidak hanya kekayaan fisik dan emosi sebuah lakon, tetapi juga kerinduan yang mendorong manusia untuk menemukan tujuan, makna, dan kehidupan yang baik.

Seni salah satu upaya besar kemanusiaan. Seni mengintegrasikan emosi dan intelektualitas kita, estetika dan kesadaran kita, secara unik. Seni menguatkan orang yang mengkreasi dan orang yang mengapresiasi sekaligus. Dan seni menajamkan pikiran dan pemusatan perasaan melalui percampuran realitas dan imajinasi. Coba pikirkan karya seni hebat yang Anda sukai; lagu yang membuat Anda bangkit dari tangis atau berjingkrak kegirangan, atau puisi yang mengungkapkan kelekatan emosi keseharian - seperti cinta dan kesedihan -  melalui cara-cara baru. Kita menikmati karya seni semacam ini karena karya-karya tersebut memberikan sementara makna bagi hidup kita. Kita mungkin juga menemukan nilai yang sama di dalam agama – keduanya, Timur dan Barat – menggunakan seni dan karya seni (termasuk seni drama) di dalam liturgi dan pelayanan mereka pada masa-masa awal.

Peniruan

Kualitas mendasar teater adalah aktor menirukan seorang tokoh lakon (karakter). Ciri ini merupakan khas teater yang membedakannya dari puisi, lukis, patung, musik, seni performance, kabaret, dan aktivitas artistik lainnya.

Ketika kita menyaksikan aktor menirukan tokoh peran, kita tahu, dalam level tertentu, tokoh tersebut tidaklah “nyata”. Tetapi seringkali kita menganggapnya nyata. Kita menanggapi sebagaimana orang yang nyata yang menampilkan emosinya secara nyata. Akhirnya agak sedikit membingungkan, pada tingkat emosinal yang sangat subjektif, untuk memisahkan aktor dari tokoh yang diperankannya. Bahkan hari ini, penggemar TV mengirim tweet kepada para selebritis, atau meninggalkan pesan di facebook-nya para aktor, untuk mengekspresikan perasaan tentang tokoh yang diperankan si aktor, dan bukan tentang diri aktor tersebut. Penggemar film sering mengacaukan papan pesan di aplikasi untuk mendebatkan karakter yang diperankan aktor atau mereka menyaksikan film sampai layar berisi tulisan pendukung film muncul, untuk memastikan karakter tersebut nyata atau tidak (mereka percaya bahwa tokoh dalam film tersebut tokoh nyata dalam kehidupan).

Bayangkanlah betapa memusingkkannya hal ini pada masa-masa awal pertumbuhan teater. Lakon dan penonton yang pertama kali tidak memiliki aturan selama berabad-abad yang dapat mengingatkan mereka bahwa aktor bukanlah karakter (tokoh) yang diperankan. Bagaimana mereka memisahkan antara performer dari fiksi? Solusi pada zaman Kuno adalah penggunaan topeng. Teater Barat menggunakan topeng ini pada awalnya di zaman Yunani Kuno ketika aktor melangkah keluar dari chorus, mengenakan topeng tanpa warna, dan itulah tanda bahwa dialog yang diucapkan adalah dialog “karakter (tokoh)”. Topeng menyediakan pemisahan fiisik dan simbolik antara si peniru (aktor) dengan yang ditiru (karakter/tokoh), hal ini membantu pemahaman penonton akan dunia “nyata” dan menerima serta menempatkan dunia panggung sebagaimana mestinya. Di dalam lakon, harus ada tokoh yang menyatakan kehidupan; aktor sendiri diharapkan menghilang sembunyi dalam bayangan bersamaan dengan keasyikan, kegelisahan, dan ambisi karir mereka. Konvensi panggung semacam ini melahirkan apa yang – Denis Diderot, seorang dramawan Perancis abad 18, katakan - yaitu “paradoks aktor”. Ketika aktor berperan secara sempurna, maka ia mensimulasikan karakter, topeng, yang terlihat nyata di mata penonton. Sementara person aslinya (aktor) tidak hadir secara nyata. Kekuatan dari daya ilusi semacam ini masih menggema hingga hari ini karena kata “person” yang berarti seseorang itu berasal dari bahasa Latin “persona” yang artinya adalah topeng. 

Akan tetapi, tentu saja kita tahu bahwa aktor tidaklah mati di balik topeng, dan pemahaman ini mengacu pada paradoks yang lebih besar; kita percaya pada karakter (tokoh lakon), namun ketika pentas usai kita menyanjung sang aktor. Hal ini juga terjadi di dunia film; jika aktor Chris Pratt membuat Anda tertawa saat memainkan karakternya di film “Guardian of the Galaxy”, secara emosional Anda bereaksi terhadap fiksi, namun di dalam kepala, Anda berpikir, “wah, aktor itu hebat!”

Topeng digunakan pada periode Yunani Kuno, dan kita juga bisa melihat bahwa banyak teater di masa lalu yang juga menggunakannya, termasuk drama topeng di Nigeria, noh dan kyogen di Jepang, dan commedia dell’arte di Italia. Pertunjukan-pertunjukan ini masih dapat kita saksikan di masa kini, tidak hanya dalam bentuk historis tetapi juga dalam produksi yang bersifat ekspresionis dan avant-garde. Namun di sebalik kehadiran topeng fisik, gagasan pemakaian topeng – untuk menyembunyikan aktor ketika memerankan tokoh – tercatat sebagai inti dari peniruan. Sebagaimana topeng yang tetap bertahan. Simbol teater yang paling dikenal secara luas sampai saat ini adalah gambar topeng komedi dan tragedi yang bersisian. (**)


Share This :

0 komentar