BLANTERWISDOM101

Pekerjaan dalam Teater “Pertunjukan”

Minggu, 12 Mei 2024



Oleh: Robert Cohen dan Donovan Sherman

(diterjemah bebas oleh Eko Santosa dari Bab 1 buku, “Theatre Brief Eleventh Edition”, karya Robert Cohen dan Donovan Sherman, diterbitkan McGraw-Hill Education, New York, tahun 2017)

Teater adalah sejenis pertunjukan, akan tetapi apa makna sesungguhnya dari pertunjukan? Pertunjukan adalah tindak/laku/aksi atau serangkaian tindak yang diambil untuk memberikan manfaat penting (atensi, penghiburan, pencerahan, atau pelibatan) bagi orang lain. Kita sebut “orang lain” sebagai penonton. Semua teater adalah pertunjukan, namun tidak semua pertunjukan adalah teater. Apa yang dimaksud pertunjukan sangatlah luas. Percakapan intens antara dua orang secara sederhana dapat disebut sebagai “komunikasi”. Namun, bagaimanapun, mereka yang terlibat dalam percakapan tersebut menarik atau melibatkan orang ketiga yang mereka tahu berada dalam jarak dengar – seseorang mendengar melalui penyadap, katakanlah demikian – maka komunikasi berubah menjadi pertunjukan dan orang ketiga menjadi penonton.

Jelasnya, pertunjukan adalah bagian dari hidup sehari-hari, hal ini telah dianalisis dalam sejumlah karya psikologi dan sosiologi. Ketika dua orang siswa sekolah menengah beradu gulat pada saat rehat makan siang, mereka mungkin saja mempertunjukkan kelihaian fisik mereka untuk menyenangkan teman-temannya. Pelajar yang bertanya pada saat pembelajaran umum di aula seringkali menjadi “pertunjukan” bagi pelajar yang lain – dan profesor “mempertunjukkan” diri di depan audiens yang sama dalam memberikan respons. Pengacara persidangan menguji saksi juga “mempertunjukkan” – seringkali mempertontonkan serangkaian bahasa tubuh – untuk meyakinkan audiens di ruang persidangan atau para juri. Politisi -melakukan pertunjukan dengan- mencium bayi untuk menggembirakan orang tua (dan yang lainnya) ketika berkeinginan menjadi kandidat. Bahkan diam membatu dapat menjadi “pertunjukan” – ketika, misalnya, sikap ini diambil sebagai respons atas penggemar yang berlebihan. Kita semua adalah performer (pelakon). Teater membangun karya melalui “pertunjukan”: perluasan dari sesuatu yang kita kerjakan setiap hari ke dalam bentuk ekspresi artistik.

Teater menerapkan dua gaya secara umum dalam pertunjukan, yaitu presentasional (langsung) dan representasional (tak langsung). Presentasional adalah pertunjukan dasar dari komedi stand up atau model kelab malam. Pelakon presentasional secara langsung dan berterusan mengakui kehadiran penonton sehingga ketika mereka menyanyi, menari, melucu itu memang ditujukan langsung kepada penonton. Mereka juga secara terbuka menanggapi tepuk tangan, tawa, permintaan, dan godaan penonton. Bentuk teater dramatik dari masa ke masa menerapkan teknik ini dan berbagai metode presentasional lainnya, termasuk berbicara menyamping ke penonton, soliloki, berkata langsung, dan semua pemain (dipanggil) kembali ke panggung setelah pertunjukan usai (curtain call).

Pertunjukan presentasional, bagaimanapun, merupakan model paling mendasar dari drama. Di dalam pertunjukan representasional, penonton menyaksikan tingkah-laku (akting) pemain yang seolah dipanggungkan tanpa kehadiran penonton. Sebagai akibatnya, penonton digiring untuk berkonsentrasi pada rangkaian peristiwa yang ada di panggung, bukan pada bagaimana para aktor mempresentasikannya; penonton percaya bahwa lakon atau apa yang berlaku di atas panggung adalah kenyataan. Kepercayaan ini – atau meminjam frasa Samuel Taylor Coleridge, “penangguhan rasa tidak percaya” – menarik partisipasi penonton melalui pembangkitan perasaan kekeluargaan (dekat secara personal) dengan tokoh/karakter. Kita dapat mengenali diri melalui aspirasi mereka, bersimpati atas keadaan mereka, bergembira atas kemenangan mereka, dan benar-benar perduli atas apa yang terjadi pada mereka. Ketika empati hadir, penonton mengalami sebuah pengalaman yang seringkali disebut sebagai “keajaiban” teater. Drama yang ditulis dan dipanggungkan dengan apik membuat orang merasa, tidak hanya berpikir tetapi juga mewarnai emosi penonton, meninggalkan rasa mendalam atau bahkan mengubah perasaan penonton. Inilah “keajaiban” teater yang tetap ada hingga di masa kini.

Sesekali, gaya presentasional dan representasional ditampilkan secara ekstrem. Pada akhir abad 19, gerakan representasional disebut sebagai realisme mengharuskan para aktor bertindak seperi dalam kehidupan nyata, tata panggung dibuat sepersis mungkin dengan keadaan aslinya (pada satu kali produksi, sebuah restoran terkenal di New York dibongkar lalu dikonstruksi ulang di atas panggung lengkap hiasan dan kertas dinding, mebel, perlengkapan makan dari perak, dan linen penutup meja yang asli). Pada masa itu gagasan dan idealisme representasional mendominasi beberapa kelompok teater yang membolehkan aktor memunggungi penonton ketika berdialog, sutradara mengijinkan jeda dan gerutuan yang tak terdengar – persis seperti ketika kita bercakap dalam kehidupan sehari-hari – penulis lakon menuliskan dialog dari fragmen atau percakapan yang ia dengar secara acak, dan pengelola gedung melakukan penghentian waktu (rehat) sementara untuk memberi perkiraan jalannya waktu cerita lakon. 

Bertolt Brecht, penulis lakon sekaligus sutradara Jerman di abad 20, bertindak menentang representasionalisme yang ekstrem ini, ia menciptakan hal yang berlawanan; mengembangkan gaya lebih ke presentasional yang mencoba menarik perhatian penonton secara langsung terkait isu-isu sosial dan politik, menata instrumen lampu yang terlihat mata penonton, memasang papan tanda, lagu, proyeksi layar paparan, dan wicara yang secara langsung tertuju pada penonton. Dan, gaya akting “berjarak” dilakukan dengan tujuan mereduksi empati yang emosional atau dengan kata lain menghindari “keajaiban” teater” yang disuguhkan oleh representasional.

Namun bagaimanapun juga,  tidak ada satupun lakon yang secara sempurna dikatakan representasional atau presentasional. Selama pertunjukan naturalistik (representasional) berlangsung, kita selalu sadar bahwa kita menyaksikan para aktor yang tampil untuk kita, dan di dalam lakonnya Brecht beserta pengikutnya, walaupun teorinya seperti itu, tetap menghasilkan empati ketika dipertunjukkan dengan baik. Faktanya, pertunjukan teatrikal selalu saja memuat gaya presentasional dan representasional, meskipun dengan derajat berbeda-beda. (**)

 

Share This :

0 komentar