BLANTERWISDOM101

Akting Panggung VS Film

Rabu, 04 Januari 2023


Oleh: Jeremiah Comey

Dipetik dari tulisan Jeremian Comey di Bab 2 buku; The Art of Film Acting, A Guide for Actors and Directors, terbitan Focal Press tahun 2002.
Diterjemah bebas oleh Eko Santosa 

Sepanjang Anda mampu – sebagaimana yang dilakukan para aktor yang efektif – meninggalkan kepalsuan, penampilan postur tubuh, dan pengindikasian emosi di atas panggung, bukan perkara mudah, jika tidak tak mungkin, untuk meninggalkan segala kepalsuan di depan kamera. Hal-hal tersebut dapat dirasakan dengan mudah oleh aktor; menungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi – terhadap apa saja atau tidak sama sekali. Pengambilan gambar close up membutuhkan kejujuran absolut. Hal ini merupakan satu usaha keras sekaligus mengagumkan. Akting di depan kamera adalah bisnis yang memerlukan kejujuran lebih.

Elia Kazan.

“Bisnis yang memerlukan kejujuran lebih” bukan selalu bermakna, “bisnis yang lebih baik”. Akting film dan panggung berbeda, dan perdebatan mengenai yang mana yang “lebih baik” tidak ada gunanya. Masing-masing memiliki syarat tersendiri, dan aktor yang baik adalah aktor yang baik, di panggung ataupun di film. Beberpa aktor tampak hebat di atas panggung, sementara yang lainnya hebat di depan kamera, dan beberapa yang brilian bisa hebat di keduanya. Panggung atau film merupakan “seni berhubungan”, yang mana kemampuan untuk berhubungan dengan aktor lain sangat diperlukan. Bagaimana dan terhadap tingkatan apa Anda berhubungan tergantung pada apakah Anda berada di depan kamera atau di atas panggung. Para aktor sukses memahami dengan baik bagaimana menyesuaikan irisan di antara dua medium ini.

Seorang teman yang sekarang menjadi aktor film sukses, bercerita bahwa ketika selesai menempuh pendidikan kesarjanaan bidang akting, pekerjaan profesional pertamanya adalah bermain dalam film feature berbiaya rendah. Ia bertekat untuk tampil sehebat mungkin. Ia mempelajari naskah secara berulang, menganalisis karakter, dan merencanakan penampilannya serta melatih ekspresi baris per baris kalimat yang ada. Ia berlaku seolah bemain dalam film berbiaya besar dan penuh tekanan meskipun tanpa bantuan sama sekali dari sutradara.

Kemudian, setelah teman saya menyaksikan hasil akhir filmnya, ia terkejut dan merasa malu dalam hampir semua adegan ia tampil tak meyakinkan. Ia terlihat sangat buruk terutama pada adegan yang ia latihkan dengan baik dan secara hati-hati ia rencanakan. Mengapa seperti itu hasilnya? Ia tahu bahwa ia bukanlah aktor yang buruk. Ia memeriksa film tersebut beberapa kali untuk menemukan sebab ia tampil begitu buruk, dan pada kesempatan keempat, ia menemukan secercah jawaban. Ternyata, ia berlatih dan berakting seolah ia akan bermain drama di atas panggung. Berikut adalah hal-hal yang ia lakukan.

Ia telah merencanakan bagaimana nanti menyampaikan dialog. Idenya justru menekan naturalitas dialog dan mengubahnya menjadi seperti orang membaca. Karena ia mengulang-ulang dialog dengan cara yang sama dalam setiap pengambilan gambar adegan, editor tidak memiliki pilihan selain menggunakan gambar yang ada di mana kalimat dialog diucapkan seperti orang membaca tersebut. Ia telah memiliki rencana bagaimana nanti bereaksi atas aksi yang dilakukan lawan main. Sebagai hasilnya, reaksi yang dimunculkan begitu tertata dan sama sekali tidak natural. 

Ia juga telah memproyeksikan suara dan aktingnya. Ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa mikropon dan kamera adalah penontonnya. Ia tidak menyadari bahwa kamera sangatlah dekat dan mampu merekam perasaan dan pikiran tanpa perlu proyeksi. Ia berpikir bahwa apa yang ia katakan lebih penting daripada yang ia rasakan sehingga pada akhirnya apa yang ia komunikasikan menjadi kurang mengena. Dialog (dalam film) sesungguhnya kurang penting dibanding perasaan dan pikiran tokoh yang diperankan. 

Ia telah memutuskan emosi seperti apa yang mesti ia rasakan dan telah melatihkannya dengan sungguh-sungguh, hasilnya ia menjadi aktor yang emosinya telah terindikasi sehingga kurang mewakili tokoh yang diperankan. Tanpa waktu berlatih yang cukup, emosi yang telah ditetapkan sebelumnya akan terlihat dipaksakan dan tidak jujur.

Ia tidak tahu bahwa kamera dapat menangkap perasaan secara nyata, yaitu kegugupan dan ketakutan. Rasa takut akan membuatnya kaku dan tak nyaman di depan kamera. Pada saat itu, bahkan ia terlihat sangat gugup. Ia tidak tahu bahwa, dengan sedikit pengecualian, tokoh dalam film adalah aktor itu sendiri. Ia menghabiskan waktunya untuk lebih mencoba mewujudkan tokoh polisi daripada menerima dengan ikhlas bahwa dirinya adalah polisi itu. 

Ia tidak tahu bahwa tugasnya adalah mendengar dan melihat apa yang dilakukan oleh lawan mainnya secara intens sehingga dapat menangkap perasaan mereka dan ketika saatnya menyampaikan dialog, maka yang keluar adalah dialog intuitif berdasar apa yang dilhat dan didengar. Dengan demikian, ia hadir sebagai aktor yang berseberangan, yang tidak dapat memberi dan menerima bagi dan dari karakter lain di film.

Hasil keseluruhan adalah ia tampil sebagai aktor yang kaku dan takut yang tidak berpartisipasi sama sekali dalam cerita karena ia tak terhubung dengan lawan mainnya. Apa yang ia gagas dan lakukan justru memunculkan dialog seperti orang membaca sehingga penampilannya sama sekali tidak meyakinkan. Ia terlihat sebagai seorang aktor yang menutupi ketaknyamanan dengan akting secara berlebihan. 
==== bersambung ===

Share This :

0 komentar