BLANTERWISDOM101

Ekspresi Artistik Dalam Teater

Jumat, 12 November 2021


Oleh : Eko Santosa

Teater diakui sebagai seni yang dapat memasukkan ragam ekspresi artistik dari cabang seni yang lain. Sifat ini menjadikan teater sebagai seni yang luwes dan dapat dikembangkan dari berbagai macam sisi. Ada tokoh teater yang berusaha mengembangkan karya teaternya melalui sisi cerita. Ada yang mengembangkan dalam konteks tata artistik sehingga mempengaruhi laku pemain di atas pentas. Ada pula yang mengembangkan dalam hal keterlibatan penonton dalam pertunjukan sehingga reaksi penonton menjadi pertunjukan tersendiri. Namun, banyak pula pelaku teater yang menenggelamkan diri dalam ekspresi artistik tertentu sehingga teater hadir secara kaku, terformat, dan berstruktur tetap. Anehnya, teater kaku semacam ini memiliki lebih banyak pengikut. Keadaan ini menjadikan wujud pertunjukan teater kurang berwarna. Padahal banyak sumber ekspresi artistik yang bisa digali dan dijadikan dasar konsep penciptaan karya teater.

Pada saat perencanaan produksi mulai dijalankan, hampir semua pelaku teater membahas tentang naskah yang akan dipentaskan. Ketika pada akhirnya naskah telah ditentukan, maka proses berikutnya adalah mewujudkan naskah tersebut dalam bentuk pementasan. Semua elemen artistik bekerja untuk mewujudkannya. Naskah sebagai sumber utama ekspresi artistik ini biasanya mengandung banyak dialog antartokoh. Di dalam proses latihan, dialog-dialog ini menjadi perangkat utama dan mesti diperhatikan dengan baik agar maknanya dapat sampai kepada penonton. Berikutnya adalah dukungan tata artistik agar dialog-dialog yang dilontarkan para tokoh semakin bermakna. Demikian seterusnya kerja artistik berlaku, semua hanya untuk mendukung dialog. Dengan demikian, eskpresi artistik utama adalah dialog.

Ekspresi artistik melalui dialog ini rupanya menjadi pilihan hampir semua pelaku teater, baik itu seniman, komunitas, maupun sekolah. Seolah, teater memang dibangun dari dialog-dialog. Seolah, segenap makna dan berjalannya cerita hanya bisa dilakukan melalui dialog. Pada titik ini, jika kesadaran disemayamkan, maka seperti itulah yang akan berlaku. Ya, memang begitu yang banyak terjadi. Hasilnya, pentas teater menjadi festival narasi verbal. Ketika kondisi ini membudaya, maka akan banyak ditemui pentas teater yang menyajikan dialog-dialog yang justru tidak bermakna, bahkan ketika dialog tersebut sangat verbal dan sederhana. Akan banyak ditemui pementasan teater yang hanya menampilkan orang-orang saling berbicara tanpa sama sekali menghadirkan peristiwa. Akan banyak ditemui penonton yang bosan dan enggan menyaksikan teater karena merasa tidak mendapat apa-apa, tidak ada sekelumit hal yang menyangkut di kepalanya dan memantik kesadaran baru. Pada titik ini, teater sebenarnya telah mati, dibunuh oleh pelakunya sendiri.

Kondisi teater yang sekarat itu kemudian akan berubah menjadi kabar buruk yang akhirnya menjumpai segelintir kelompok teater yang mampu mengelola dengan baik dialog dalam pementasannya sehingga pertunjukannya bermakna. Kabar buruk tersebut disebarkan oleh para penonton yang sudah terbiasa menyaksikan teater tanpa peristiwa. Mereka menganggap bahwa semua teater adalah sama. Kabar buruk ini kemudian menghampiri banyak orang dengan membawa keputusan final bahwa tidak ada gunanya menyaksikan teater. Hari-hari berikutnya, gedung pertunjukan menjadi sepi. Satu per satu penonton mulai menghilang, lebih memilih berada di rumah, café atau tempat nongkrong lain sambil sibuk mengulik gawai.

Cerita kelam teater mati dan kehilangan penonton hanyalah gambaran sarkas atas bunuh diri kreativitas para pelaku teater yang dilakukan tanpa sadar. Bahkan ketika mereka pada akhirnya dilihat orang lain menjadi zombie tetapi tetap saja mengaku sebagai manusia, dengan gagahnya. Ketaksadaran itu rupanya telah mejadi gaya hidup, juga karakter. Sementara cerita kelam itu hadir sebagai sinyal waspada agar teater tidak menjadi demikian. Sebagai sirine agar mata para teaterwan terbelalak bahwa ada sesuatu yang mengancam kehidupan teater. Sebagai hentakan palu yang semestinya membangkitkan kesadaran untuk cepat berbuat agar teater tak jadi mati. Palu kesadaran itu bisa saja tampil dalam wujud yang sederhana di mana ia adalah sekelumit pertanyaan, “apakah proses perencanaan produksi mesti selalu dimulai dari naskah lakon?” 

==== bersambung ====

 

Share This :

0 komentar