BLANTERWISDOM101

Tulisan Mengenai Teater - 2

Kamis, 23 September 2021


 Oleh: Eko Santosa

Ketidaksederhanaan tulisan mengenai teater seringkali justru membawa jebakan tersendiri. Ada beberapa penulis yang teramat suka mengungkapkan konsep-konsep tokoh teater dengan pemahaman tak utuh, namun seolah telah dengan baik memahaminya. Tulisan-tulisan semacam ini, yang biasanya muncul dari kalangan akademis muda, baik yang baru saja lulus atau sedang akan lulus dari akademi, seringkali justru menampakkan kegagahan semu. Karena apa yang ingin diungkapkan sebenarnya tidak terlalu berkait dengan konsep yang dirujuk. Bahkan, seringkali pula pemaknaan atas konsep hanya menyentuh kulit sehingga justru bias. Artinya, tulisan tersebut dalam banyak hal tidak menyampaikan apapun secara mendalam. Banyak seniman senior yang berujar bahwa sesungguhnya yang maha penting adalah apa yang akan kamu bicarakan baik dalam ucapan maupun tulisan. Jadi bukan menurut tokoh ini atau tokoh itu. Secara bijak ujaran ini mensyaratkan bahwa penulis mesti bisa melakukan proses sintesis atas beberapa konsep yang ia rujuk sehingga pemaknaan personal atas konsep-konsep tersebut didapatkan. 

baca juga : Tulisan Mengenai Teater

Lebih jauh, masyarakat teater sebenarnya juga mengehendaki sesuatu yang lebih mudah untuk dipahami. Melalui tatanan kalimat dan bahasa sederhana, tulisan-tulisan teater pasti akan lebih dapat diterima. Memang ada sebagian kalangan yang menyukai dunia teater yang keras di mana perjalanan panjang proses penciptaan teater itu mesti tergambar dalam setiap tulisan mengenai teater. Hal yang tentu saja tidak bisa diwujudkan karena teater memiliki banyak bidang, sudut pandang, dan persoalan. Tidak setiap proses panjang penciptaan itu mesti tergambar dalam tulisan karena sejatinya tidak semua proses panjang yang dilalui pelaku teater itu akan menghantarkannya menjadi seniman tersohor. Sekali lagi, Brook pernah menuliskan hal ini, bahwa proses panjang penciptaan teater terkadang menghasilkan kualitas pertunjukan yang tidak lebih baik dari teater amatir yang hanya melakukan latihan beberapa kali sebelum pementasan. Jika dikaitkan dengan tulisan, maka tidak semua tulisan yang menggambarkan intelektualitas maha dahsyat teater itu lebih baik hasilnya dibanding tulisan teater sederhana yang mengungkap hal sederhana namun riil terjadi atau dilakukan.

 Pengungkapan pengalaman nyata ke dalam tulisan seringkali lebih menggugah ketimbang umbaran gagasan atau konsep yang njlimet. Bahkan kalau diselisik sedikit lebih jauh, konsep-konsep yang dituliskan oleh tokoh-tokoh teater tersohor sebagian besar berdasar pengalaman. Buku Stanislavski yang menjadi acuan sistem pelatihan akting modern pun juga ditulis berdasar pengalamannya berlatih dan mengajar di studio. Rendra juga menuliskan sistem pelatihan teknik dasar akting berdasar pengalaman yang dilakoninya. Tulisan semacam ini seolah menghadirkan gambaran nyata bagi para pembaca. Mereka tidak susah-payah mengimajinasikan gagasan yang belum tentu dapat ditemui dalam pengalaman hidup sehari-hari.

Memang tulisan mengenai teater itu bebas sifatnya. Artinya ia hadir bisa dalam bentuk apa saja, bahkan yang teramat rumit pun boleh. Akan tetapi, kurangnya tulisan teater yang cair, dalam arti, mudah dipahami khalayak menjadikan minat baca awam terhadap teater juga terbatas. Terlebih lagi, kenyataan menyajikan fakta bahwa memang penulis teater, secara jumlah, tidaklah banyak. Dari yang tidak banyak tersebut sebagia besar seringkali mengulang-ulang konsep, metode atau gagasan dari tokoh-tokoh tertentu saja. Tidak banyak bermunculan gagasan atau pendapat dari tokoh-tokoh atau bahkan pelaku teater lain. Seolah semua terjebak pada narasi besar tokoh-tokoh teater dunia. Seolah hanya dengan mengusung narasi semacam ini tulisan mengenai teater menjadi gagah.

Lebih mengejutkan lagi adalah narasi besar ini di bawa ke dalam tulisan “ilmiah” yang seringkali kering akan gagasan penulis sendiri. Banyak penulis hanya sekedar mengutip atau bahkan menuliskan narasi tersebut dengan pemahaman yang dangkal. Sehingga ketika hal tersebut ia terapkan dalam satu projek sebagai bukti sahih atas konsep yang diacu, maka jarak melencengnya akan semakin jauh. Sebagai contoh, narasi Stanislavski mengenai akting yang diterapkan dalam projek pementasan teater tradisional/daerah. Sekilas saja hal ini sudah memberikan informasi bahwa penulis memang tidak membaca secara utuh gagasan Stanislvaksi mengenai akting, sistem pelatihan, dan sejarah sistem tersebut dibangun. Mengacu dan menerapkan akting model Stanislavski ke dalam teater daerah dengan sendirinya telah mengingkari tujuan dasar sistem tersebut diciptakan. Bagaimana mungkin Stanislavski yang berusaha keras menghindari akting presentasional, justru sistemnya diterapkan ke dalam teater presentasional? Masih banyak pekerjaan rumah sebenarnya untuk jenis tulisan “ilmiah” mengenai teater, terutama tulisan yang terkait dengan tugas kuliah atau tugas-tugas lain sebagai kewajiban akademis untuk kelulusan mata kuliah atau studi.

==== bersambung ====


Share This :

0 komentar