BLANTERWISDOM101

Anekarupa Teater dalam Lomba - 3

Kamis, 29 Juli 2021

 


Oleh: Eko Santosa

3. Teater Panitia 

Seorang pelatih ataupun sebuah kelompok teater terkadang bersikukuh tidak mau mengikuti ajang lomba. Mereka hanya mau berproduksi sesuai dengan keinginan mereka saja. Tidak peduli apakah pementasan yang mereka selenggarakan itu dikenal banyak orang atau tidak. Bagi mereka yang penting adalah menghasilkan karya. Sekilas, pelatih atau kelompok teater ini terlihat idealis. Mungkin mereka menganggap bahwa aturan dalam lomba teater itu akan menghambat kreativitas mereka. Oleh karena itulah, menyelenggarakan produksi sendiri dan lepas dari ajang lomba lebih mengena. Jika memang seperti ini kondisinya, maka tidak ada yang salah dengan pelatih dan kelompok teater tersebut karena hasrat menampilkan karya bisa saja berbeda-beda termasuk latar belakang pemikirannya.

baca juga : Anekarupa Teater dalam Lomba - 2

Namun dari beberapa pengalaman, keengganan untuk mengikuti lomba ini ternyata bukan perkara idealisme, melainkan ada hal yang tak semestinya terjadi yaitu intervensi oknum panitia dalam lomba. Intervensi ini tidak sekedar memberikan pengaruh pada pementasan saat lomba, namun lebih pada penentuan siapa pemenangnya. Tidak sedikit rumor beredar, bahwa ada oknum panitia (bahkan terkadang ketuanya) memiliki interest terhadap peserta sehingga meminta Juri untuk menjadikan peserta tersebut juara. Hal ini terjadi pada event lomba yang umumnya menentukan kelompok pemenang menuju ke level berikutya. Misalnya saja, pemenang lomba di kecamatan akan dikirim ke kabupaten. Namun demikian, di teater sekolah, lomba teater bisa saja berlangsung semacam ini meskipun sang pemenang tidak akan dikirim ke level berikutnya. Semua tentu karena eksistensi. Apalagi, di sekolah dikenal dengan istilah pelajar berprestasi sehinga oknum panitia yang anaknya kebetulan menjadi peserta lomba bisa jadi, dengan berbagai cara, mempengaruhi (intervensi) Juri untuk memenangkannya.

Kondisi seperti ini memang tidak akan mengenakkan, namun bisa terjadi, mungkin bahkan sampai saat ini. Kredibilitas Juri kemudian menjadi taruhannya. Jika Juri bersikukuh untuk tetap objektif dalam menilai, maka intervensi oknum panitia tidak akan berjalan dengan baik. Juri semacam ini akan mempertahankan kualifikasi dirinya sebagai orang yang memang pantas untuk didudukkan sebagai Juri, apalagi ketika eksistensinya sudah diakui banyak kalangan. Para peserta tidak akan khawatir terhadap penilaian yang tidak fair atas lomba yang diselenggarakan. 

Namun rupanya yang terjadi tidaklah demikian sederhana. Oknum panitia yang memang berniat untuk memenangkan seseorang atau salah satu kelompok tertentu pasti telah memiliki strategi jitu sejak pemilihan dewan Juri. Personel atau komposisi Juri telah ditentukan dengan pertimbangan matang sehingga pada nantinya apa yang dimintakan oleh oknum panitia dapat terwujud. Di dalam penilaian lomba teater, angka perolehan peserta merupakan penjumlahan antara Juri satu dengan Juri lainnya. Umumnya dewan Juri berjumlah ganjil, misalnya 3 orang. Jika 2 orang anggota dewan Juri sudah diset olah oknum panitia, maka penilaian Juri murni yang hanya seorang saja dapat dipastikan kalah. Intinya, oknum panitia akan berusaha semaksimal mungkin mempengaruhi Juri agar memenangkan peserta pilihannya. Bahkan di dalam ajang yang besar pun terkadang aroma suap-menyuap untuk memenangkan peserta tertentu bermunculan. 

Meskipun kejadian seperti di atas tidak terjadi pada semua lomba, namun situasi tersebut membuat peserta kehilangan semangat untuk mengikuti lomba berikutnya. Tetapi di teater sekolah yang mana mengikuti lomba terkadang diwajibkan, kondisi tersebut akan sangat menciderai semangat pendidikan seni. Peserta yang tampil dengan baik karena telah berlatih keras akan dikalahkan peserta pilihan oknum panitia. Jika guru atau pelatih pendamping memiliki kedewasaan sikap, maka mereka bisa menenangkan siswanya untuk menerima kenyataan bahwa lomba bukanlah segala-galanya dan estetika sebuah pertunjukan teaeter tidak diukur dari lomba saja. Satu lagi hal yang dapat menenangkan bagi peserta yang dikalahkan adalah kenyataan bahwa khalayak akan menganggap teater pemenang tersebut adalah teater panitia. Oleh karena itu, mereka bukanlah kelompok teater yang sesungguhnya. Anggapan teater panitia ini sedikit banyak akan meredam emosi para peserta yang sengaja dikalahkan dan akan menurunkan gengsi sang pemenang. Meski akhirnya apa yang telah berlalu pasti berlalu, namun yang menjadi catatan adalah peserta yang kalah bukanlah pecundang melainkan sang pemenang karena teater sesungguhnya bukan soal kalah-memang tetapi nilai kemanusiaan.

== bersambung ==


Share This :

0 komentar