BLANTERWISDOM101

Anekarupa Teater dalam Lomba - 1

Kamis, 15 Juli 2021


Oleh: Eko Santosa

Program pemberdayaan teater, secara umum telah banyak dilakukan. Baik itu dalam konteks teater profesional, teater komunitas, maupun teater sekolah. Bentuk programnya juga bermacam-macam, ada yang berupa bantuan pendanaan produksi, fasilitasi pementasan, workshop, festival, dan lomba. Dalam khasanah teater sekolah, agenda berbentuk lomba paling banyak dilakukan. Meskipun terkadang namanya adalah festival tetapi konsep utamanya adalah lomba yang menentukan siapa juaranya (championship). Di teater sekolah, lomba ini bisa dilaksanakan secara bertahap dan bertingkat. Misalnya, seleksi awal adalah tingkat kabupaten, berikutnya pemenang dipilih untuk berkompetisi di tingkat propinsi, dan pemenang tingkat propinsi dikirim untuk berkompetisi di tingkat nasional. Namun ada juga lomba teater yang memang diselenggarakan dalam satu waktu, satu tempat, dan satu agenda tanpa berlanjut ke tingkat berikutnya. Banyak hal menarik dapat dijumpai dalam lomba teater yang diselenggarakan, terutama terkait dengan hasil akhir (tujuan) lomba, preparasi serta reaksi terhadapnya. Beberapa jenis teater dapat ditemukan di dalamnya. Penjenisan ini berdasar sifat, sikap, dan cara teater tersebut menghadapi lomba. Uraian berikut menyajikan beberapa jenis teater yang pernah atau mungkin masih muncul dalam perlombaan.

1. Teater Protes

Teater protes bukanlah teater yang selalu menyajikan lakon untuk memprotes pemerintah atas keadaan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Bukan pula teater yang menggelar pementasan di jalan-jalan atau depan gedung parlemen. Teater protes dalam lomba adalah kelompok teater yang mengajukan protes begitu hasil akhir lomba diumumkan. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa jenis teater ini selalu muncul dalam lomba. Sikap kurang percaya pada penjurian, sifat merasa paling baik, dan cara yang ditempuh dalam melakukan protes sangat menarik jika diamati. Padahal secara jelas, di dalam setiap lomba sudah diumumkan – bahkan scara tertulis – ketentuan yang menyatakan bahwa keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Tetapi toh tetap saja teater protes ini hadir mewarnai lomba.

Mungkin banyak peserta lomba teater yang pernah menjumpai kelompok teater protes ini. Ada yang marah-marah tidak jelas di saat acara pengumuman kejuaraan belum benar-benar selesai. Ada yang berani mendatangi panitia dan melakukan protes dengan kalimat keras dan nada tinggi. Ada yang sampai mendatangi ruang singgah juri, dan bahkan ada yang sampai merusak properti lomba. Tingkah-polah yang sebenarnya lucu sekaligus memprihatinkan ini bisa dijadikan pembelajaran bagi seluruh pelaku teater yang mengikuti lomba. Artinya, kehadiran teater protes sebenarnya dapat dijadikan momen untuk introspeksi bagi seluruh kelompok teater bahwa, dunia panggung, dunia lomba, dan dunia seni tidak pernah bisa diukur secara matematis. Hitung-hitungan baik dan buruk, indah dan jelek dalam karya seni itu tidak bisa dikalkulasi seperti halnya penjumlahan dan pengurangan.

Poin-poin yang disanggahkan oleh teater protes bisa jadi benar, tetapi ada aturan mengikat yang telah disepakati bersama sejak technical meeting di mana keputusan Juri bersifat mutlak. Jalan bijaksana dari sanggahan berdasar yang bisa jadi benar ini dapat berupa tulisan hasil analisis komprehensif yang ditujukan kepada panitia agar kejadian serupa tidak terulang pada penyelenggaraan berikutnya. Namun, situasi dan kondisi saat pengumuman lomba memang selalu panas dan rawan memicu kemarahan terutama ketika terjadi hal-hal yang dianggap tidak sesuai ukuran. Akan tetapi, protes secara emosional, apalagi tak terkendali justru akan merugikan diri sendiri. Jadi perlu sikap bijak dan cerdas dalam hal ini. 

Di dalam banyak pengalaman, dari sekian banyak teater protes yang lahir umumnya mereka memiliki ukuran tinggi bagi karya mereka sendiri. Dalam konteks ini, teater protes tersebut seolah memandang rendah capaian teater lain dan hanya merekalah yang berkualitas. Atas dasar inilah protes itu diarahkan terutama pada kelompok yang terpilih sebagai pemenang. Apa yang dilakukan terkadang tidak memperbandingkan karya secar artistik namun justru mencari-cari kesalahan pemenang. Jika mereka membandingkan karya-karya yang hadir saat lomba secara artistik tentunya protes emosional akan dapat diminimalisasi. Akan tetapi jika yang dicari adalah kesalahan atau kejelekan teater pemenang, maka bisa dipastikan protesnya akan emosional. Pada titik ini segala nilai artistik menjadi hilang karena yang coba digali dan ditemukan hanyalah kesalah-kesalahan. Bahkan ketika tidak ditemukan celah kelemahan, mereka tetap akan berusaha mencari hal-hal yang dianggap kurang tepat meskipun hal-hal tersebut tidak ada kaitannya dengan karya dan bahkan nilai dalam lomba. Intinya, semua hal yang dianggap kurang baik dari teater pemenang akan dikulik.

Kondisi teater protes nan emosional ini sebenarnya tidak sehat, terutama ketika hal tersebut terjadi pada kelompok teater pelajar. Umumnya para peserta teater pelajar sudah cukup merasa puas dengan menyajikan karyanya di depan khalayak. Artinya, mampu berekspresi dengan memainkan peran saja sudah membanggakan bagi mereka dan pengalaman semacam ini sangat berharga. Namun, pelatih kelompok teater pelajarlah yang biasanya memaksa diri untuk tampil sebagai pemenang dalam lomba. Sikap yang semestinya positif ini kemudian akan menjalar menjadi sangat negatif ketika kelompok teater pelajar tersebut kalah dan pelatihnya mulai protes secara emosional dengan menjelekkan kualitas pemenang dan meninggikan kualitas teaternya sendiri. Tanpa disadari, laku pelatih dalam teater protes semacam ini akan mengaburkan makna keindahan dalam seni teater di mana pada saat itu para peserta sedang sama-sama mempelajarinya. Akhirnya, benih sinisme antarkelompok dengan sendirinya terbentuk dan ini bukan pertanda baik bagi perkembangan teater dan kemanusiaan di dalamnya. 

==== bersambung ====

Share This :

0 komentar